GAMBARAN UMUM BANYUMAS AWAL ABAD XX
A.
Kondisi geografis
Banyumas lebih menunjukkan sebagai wilayah pedalaman
yang terisolasi oleh pengunungan yang membentang, baik sepanjang bagian utara
maupun selatan. Yaitu pegunungan Serayu selatan di sebelah selatan dan
pengunungan Serayu utara di bagian utara yang merupakan sambungan dari
pegunungan Dieng disebelah timur laut yang membujur ke arah
barat. Diantara pengunungan terletak
daerah inti Banyumas yang
ditengah-tengah mengalir sungai serayu. Sehingga Banyumas dikenal dengan
sebutan lembah Serayu. Kondisi tanah dari vulkanis muda yang subur dan sebagian
besar berupa persawahan yang sangat cocok untuk budidaya padi. Sungai Serayu
dan anak-anaknya mampu mengairi pertanian sehingga memungkinkan penanaman
dilakukan sepanjang musim. Sehingga pada masa kolonial Banyumas dipandang
penting sebagai penyelenggaraan perkebunan tebu.
Sebelum berada di bawah kekuasaan Belanda, karesidenan
Banyumas menjadi wilayah kekuasaan Mataram yang termasuk dalam teritorial Mancanegara
Kulon. Hari jadi Banyumas tanggal 6 April 1582 pada masa kesultanan Pajang
menunjukkan kapan Banyumas berdiri. Sebelum dibawah kekuasaan Belanda, wilayah
Banyumas dibagi dalam Banyumas Kesepuhan dan Banyumas Kanoman. Banyuma
kesepuhan meliputi: Banyumas, Adirejo, Purwokerta, Ayah, Jeruk legi, Daya
luhur, sedangkan Banyumas Kanoman meiputi: Banjar, Purbalingga, Sukaraja,
Panjer. Dengan dimulainya pemerintah Belanda di Banyumas, pembagian Kasepuhan
dan Kanoman hilang dan selanjutnya hanya terdapat seorang bupati di Banyumas.
Karesidenan Banyumas merupakan daerah yang tanahnya
berbentuk oval dan membentang dari timur ke barat. Lingkungannya tidak ramai
karena tidak dilalui jalan kereta api. Angkutan yang ada meliputi dokar,
gerobak dan mobil. Banyumas merupaka wilayah yang besar di Jawa. Banyumas
terdiri dari empat distrik Banyumas, Kalirejo (Adireja), Sukaraja, dan
Purworejo. Pemerintah Belanda berkepentingan dengan daerah sebelah selatan
Banyumas sebagai pelabuhan dan tempat mengumpulkan barang-barang hasil setempat
dan barang-barang yang baru datang.
B.
Kondisi lingkungan
Pada awal abad 20 lingkungan Banyumas mulai berubah
setelah terjadi eksploitasi wilayah oleh Belanda terutama pembukaan lahan untuk
perkebunan, pemukiman, dan kegiatan industri. Kondisi lingkungan Banyumas
sangat relevan sebagai tempat berkembangnya nyamuk anopheles ludlowi, yaitu daerah
sungai yang kering pada musim kemarau maupun daerah pantai, juga daerah
rawa-rawa. Tidak menguntungkan pada musim kemarau panjang. Sebaliknya musim
hujan terus menerus menyebabkan penyakit demam. Kondisi semakin buruk jika
banyak angin dan lembab. Pada awal abad 20 pemerintah membuka gudang-gudang
untuk barang-barang dan mengadakan perluasan jalur kereta api sampai ke
pelabuahn Cilacap. Sejalan dengan perkembangan infrastruktur tersebut Cilacap
menjadi pusat aktivitas ekspor dan transportasi. Perkembangan trasnformasi
darat dan laut menjadikan karesidenan Banyumas menjadi daerah yang tidak
terisolir. Lingkungan pemukiman penduduk tidak lepas dari kondisi sosial
ekonomi dan budaya setempat. Terdapat keseragaman dalam bentuk rumah dan bahan
bangunan yang digunakan. Bahan dasar utama bangunan dari bambu dan kayu dengan
atap rumbia. Di daerah pantai hampir semua rumah di atas tiang dengan lantai
beralasan ranting dan dahan-dahan pohon, kecuali rumah kepala desa yang
beralaskan tikar. Rumah penduduk pedalaman juga mempunyai kesamaan bahan
bangunan yang menggunakan semen dan genteng tidak banyak. Sebagian besar
penduduk pribumi tinggal di pedesaan dan sebaliknya hampir semua penduduk asing
tinggal di perkotaan dan rumah mereka umumnya sudah memakai semen dan genteng.
Air ledeng sejak awal abad 20 sudah digunakan untuk
keperluan sehari-hari, sebagai air minum, memasak, dan keperluan rumah tangga
lainnya. Sumber air digunakan untuk sumber irigasi bagi pertanian dan
perkebunan yang sudah dibangun sejak tahun 1833. Penduduk daerah pantai
menggunakan air hujan untuk keperluan sehari-hari. Jika musim kemarau
menggunakan air sungai yang disimpan dalam kendi dan kaleng minyak tanah.
C.
Teori dalam pengkajian di Banyumas masa bupati
Gandasubrata
Menurut Soekanto (2005: 103) mengemukakan perubahan
sosial adalah sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima,
baik karena kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk,
ideologi maupun karena adanya difusi atau pun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Sehingga perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang
terjadi pada masyarakat yang mencakup perubahan dalam aspek-aspek struktur dari
suatu masyarakat, atau karena terjadinya perubahan dari faktor lingkungan,
dikarenakan berubahnya sistem komposisi penduduk, keadaan geografis, serta
berubahnya sistem hubungan sosial, maupun perubahan pada lembaga
kemasyarakatannya. Dalam mengkaji ekonomi, sosial dan budaya di Banyumas
penulis menggunakan teori perubahan sosial karena terjadi dampak perubahan dalam
segala bidang yang mencakup antara lain pada sistem ekonomi, sosial dan budaya
bahkan politik. Namun yang menjadi fokus utama adalah pada sistem ekonomi dan
sosial. Perubahan Banyumas dalam bidang ekonomi ini yaitu sebelum adanya
kolonial Belanda (masih berada dibawah kekuasaan mancanegara klien kesunanan
Surakarta) penduduk bermata pencaharian agraris atau masih dalam petani
tradisional. Namun semenjak berada dibawah kekuasaan Belanda, mata pencaharian
penduduk Banyumas mulai beragam, seperti adanya pabrik dan perkebunan yang
nantinya membutuhkan banyak buruh upahan, sebagai petani yang tidak hanya
menanam padi sebagai substansi dan berbagai perubahan dalam hal ekonomi
lainnya. Sedangkan perubahan dalam bidang sosial, terjadinya lapisan sosial di
masyarakat dan adanya diskriminasi antar masyarakat. Selain itu sistem gotong
royong dan kekeluargaan sangat terjalin pada masa itu terbukti dengan
terjadinya krisis malaise yang melanda dunia, bupati Gandasubrata di Banyumas
memiliki solusi untuk mengatasinya salah satunya mendirikan dapur umum untuk
diberikan kepada orang-orang yang tidak memimiliki pekerjaan dan tidak dapat
menghidupi dirinya sendiri, selain itu memberikan pakaian dan juga pelatihan
keterampilan.
EKONOMI BANYUMAS MASA KOLONIAL
A.
Ekonomi banyumas masa colonial
Ekploitasi ekonomi ini diawali setelah perang
diponegoro yang berlangsung dari tahun 1825 sampai tahun 1930. Selama perang
berlangsung, pihak kolonial Belanda telah
menanggung beban lebih dari f30.000.000 disamping biaya perang yang ditaksir
sekitar f2.000.000. semua dana itu harus diperoleh kembali melalui eksploitasi
kolonial yang dijalankan secara intensif.
Banyumas sebagai daerah kilen Kasunanan Surakarta,
dilepas dan diserahkan secara resmi diempatkan sebagai wilayah yang berada di
bawah kekuasaan kolonial pada 22 juni 1830. Untuk menetapkan kekuasaan di
Banyumas pihak kolonial secara intensif mengadakan pembenahan lahan. Usaha itu
dipimpin oleh residen Pekalongan yang pada waktu itu dijabat oleh Hallawijin.
Tujuan utama usaha pembenahan wilayah adalah untuk menginventarisasikan luas
dan keadaan tanah, kondisi wilayah, jumlah penduduk, maupun kondisi masyarakat
pribumi. Dengan cara ini pemerintah kolonial akan segera memperoleh gambaran
tentang berbagai permasalahan yang harus dihadapi, sehingga dapat mengatasi
berbagai persoalan dengan kebijaksanaan yang setepat mungkin. Tindakan yang
dilakukan yaitu memeriksa dan mengatur tanah untuk memudahkan penarikan pajak
kepada penduduk untuk menggantikan penyerahan wajib yang ditarik oleh kasultanan.
Untuk melaksanakan tugas itu, residen Pekalongan menunjuk tiga orang
pembantunya yaitu Daendels melaksanakan tugasnya di bagian timur Banyumas,
Sigaluh, Banjar dan Wonokerto serta Mandiraja. Sedangkan Tack melaksanakan
pendataan di wilayah Purbalingga, Kertanegara, Ayah, Jeruklegi, dan Donan.
Kemudian Vitalis bertugas di Purwokerto, Sokaraja, Ajibarang, Patikraja,
Dayahluhur, Pancang dan Perdikan.
Dari tugas itu terdapat laporan sementara yaitu jumlah
penduduk dua daerah utama adalah yang pertama Banyumas Kasepuhan berpenduduk 500 cacah, Ayah 800 cacah,
Patikraja 400 cacah, Purwokerta 400 cacah, Banjar 200 cacah dan Pancang 416
cacah. Yang kedua, Banyumas Kanoman berpenduduk 500 cacah, Panjer 800 cacah, Sokaraja
400 cacah, Purbalingga 400 cacah, Banjar 200 cacah dan Perdikan 400 cacah.
Sehingga langkah yang ditempuh adalah melalui usaha membuka isolasi daerah
Banyumas, langkah yang ditempuh membuka pelabuhan laut Cilacap yang berada di
sekitar pulau Nusakambangan. Daerah pantai dapat dijangkau dari pedalaman
Banyumas melalui jalur sungai Serayu.
Berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jendral No. 1 tahun 1830 maka keresidenan Banyumas secara resmi
terbentuk pda tanggal 18 September 1830. Karesidenan Banyumas terdiri dari
empat kabupaten dan satu daerah kepatihan. daerah-daerah yang lama disatukan
kembali, daerah itu meliputi Karangkobar (Pekalongan), Tanah Madura (Cirebon),
Karangsari (Tegal), dan Nusakambangan yang sejak tahun 1706 sudah berada
dibawah kekuasaan kompeni.
Dalam melaksanakan tugasnya residen Banyumas
berkedudukan di Banyumas dan dibantu oleh tiga orang residen. Purbalingga dan
Banjarnegara Asisten residen dibantu oleh seorang upas dan seorang sekretaris
pengadilan negeri. Secara system administrative ditentukan melalui dua jalur,
yaitu 1) untuk pamong praja Belanda, tediri dari gewest, afdeeling dan
onderafdeeling 2) untuk pamong raja Indonesia
(pribumi) terdiri dari regentschap (kabupaten), district (kawedanan),
dan onderdisctrict (kecamatan). Residen Banyumas yang berkedudukan dikota
Banyumas dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh asisten residen yang
masing-masing ditempatkan di Ajibarang, Purbalingga, dan Banjanegara. Dibantu
pula oleh upas dan sekretaris pengadilan negeri. Asisten residen membawahi
langsung bupati, karena pejabat ini bertindak sebagai pimpinan tiap-tiap
afdeeling. Dengan demikian bupati berada langsung di bawah asisten residen.
Keadaan semacam ini berlangsung hingga tahun 1931, sesudah itu kedudukan bupati
tidak berada dibawah tetapi disamping asisten residen.
Adapun tugas asisten residen dibantu oleh beberapa
kontrolir yang masing-masing mempunyai suatu wilayah tugasnya sendiri. Luas
wilayah sama dengan luas kabupaten. Kemampuan dalam system kekuasaan, mendorong
pemerintah colonial untuk melaksanakan eksploitasi ekonomi, yang menyangkut pengerahan
tenaga kerja paksa. Dalam system pajak di Banyumas penduduk diharuskan membayar
pajak tanah, pajak keluarga, pajak kepala, dan pajak pemilikan.
Penetapan pembayaran pajak keluarga dipengaruhi oleh
kemampuan seseorang. Pertama, diukur dari banyaknya jumlah tenaga pembantu atau
rayat, jumlah barayat yaitu anggota keluarga maupun bukan yang berada di bawah perlindungannya
atau yang hidup berada di bawah satu bangunan rumah. Kedua diukur dari tingkat
kekayaan atau kepemilikan seperti bangunan rumah. Dengan demikian setiap rumah
dikenakan pajak yang bervariasi tergantung dari kondisi perumahan, kekayaan dan
jumlah anggota brayat yang berada di bawah perlindungannya.
Selain itu penduduk juga harus membayar pajak tanah
yang dibebankan kepada setiap petani sikep. Jumlah pajak yang harus diserahkan
kepada pemerintah juga bervariasi. Yang berlahan luas mempunyai tanggungan
berbeda dengan luas tanah yang lebih sempit. Yang tidak memiliki tanah atau
numpang tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Selain itu ada pula penyerahan
wajib hasil perkebunan untuk kepentingan ekspor. Ada tiga jenis tanaman
komoditi yang menjadi andalan selama awal abad XX yaitu kopi, indigo, dan tebu.
Tanaman lain yaitu teh, kapas, kayumanis, tembakau, dan lada. Dengan demikian
sejak Banyumas dijadikan sebagai daerah kolonial.
B.
Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula
Akhir abad XIX pemerintah menerapkan cara baru untuk
mendapatkan tanah pertanian. Pemerintah perlu mendapatkan persetujuan dari
penduduk pemilik tanah yang bersangkutan. Mengenai luas tidak lebih dari
perlima dari tanah pertanian yang digarap oleh penduduk desa.
Awal abad 19 sampai awal abad 20 mulai dicoba penanaman
tebu pada lahan sawah dengan luas sekitar 64 bau dari luas 100 bau yang
tersedia. Perkembangan areal perkebunan tebu masa berikutnya menjadi begitu
lambat. Dalam tahun 1840, lahan yang digunakan untuk perkebunan tebu hanya
dapat diperluas menjadi sekitar 400 bau. Pabrik gula pertama didirikan di
karesidenan banyumas adalah pabrik Kalibagor dalam tahun 1838. Area perkebunan
tebu untuk pabrik berada di dua kabupaten yaitu Purbalingga dan Banyumas.
Antara taun 1840-1855 luas areal yang disewa relatif tetap yaitu sekitar 400
bau, dengan 111 bau sampai 280 bau sebagai lahan produktif.
Tahun 1895 di Banyumas telah berdiri lima perusahaan
perkebunan tebu dengan luas yang disewa 2.934 bau. Perkebunan tebu dan pabrik
gula milik pemerntah di Kalibagor diserahkan pengelolaan kepada swasta yaitu Maatschappij Exploitatie der suikerfabriek
Kalibagor. Pabrik Kalimanah oleh Naamlooze Vennootschhap Suikerfabriek
Kaliklawing. Pengelola pabrik Klampok dan pabrik Purwokerta oleh Naanlooze Vennootschap Suikerfabriek
Poerwokerto.
Keadaan tersebut mengalami pergeseran tahun 1900, area
tebu di Banyumas mencapai 2.525 bau. Yang beroperasi pada tiga kabupaten,
Purbalingga, Purwokerto, dan Banyumas. Dan perkembangan luas area tebu ternyata
lebih mengalami peningkatan yang sangat tajam. Tahun 1910 terus mengalami
peningkatan yang cukup tajam, hal ini disebabkan oleh masuknya modal
asing/swasta terutama dalam perkebunan tebu dan gula.
Dalam penggunaan lahan untuk penanaman tebu digunakan
system pengiliran yang ketat. Tanah dibagi menjadi bagian-bagian sehingga
disebut glebagan. Pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian. Setiap tahun satu
bagian ditanami tebu dan dua bagian digarap petani untuk ditanami tanaman
pangan baik tanaman padi maupun palawija. Kenyataan di lapangan menunjukkan
perbedaan yang sangat kontras, dalam praktiknya mengingat umur tebu lebih dari
satu tahun (15-19 bulan), maka selama masa peralihan jumlah area yang ditanami
tebu mancapai dua bagian. Dengan demikian maka lahan yang diperuntukkan bagi
tanaman pangan hanya tersisa satu bagian saja.
Bergilirnya penanaman tebu pada tanah yang disewa itu
dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan para pemilik modal. Tanah yang disewa
dibagi penggarapannya berdasarkan waktu, sehingga menjamin kontinuitas
produksi. Glebagan juga dapat menjamin tingkat kesuburan tanah, sehingga
produksi perkebunan tetep maksimal. Kemudian ditinjau dari hak penguasaan
tanah, system itu dimaksudkan untuk mencegah agar penguasa perkebunan tidak
menguasai tanah desa untuk selama-lamanya. Dengan cara itu gangguan yang
ditimbulkan oleh kegiatan perkebunan tebu tidak merusak organisasi komunal desa
yang hidup secara tradisional. Oleh sebab itu, maka produser kontrak tanah
untuk perkebunan biasanya dilakukan dengan para kepala desa. Para petani tidak
dapat secara langsung mengadakan hubungan kontrak, karena masih tetap ada
anggapan bahwa tanah sebagai milik desa. Dalam proses itu rakyat juga dipandang
belum mampu untuk melakukan hubungan kontrak tanah secara langsung dengan para
penguasa.
Tanah pertanian yang digunakan untuk perkebunan di
Karesidenan Banyumas dikenal dengan sebutan sawah doleg. Istilah itu diduga
merupakan ejaan bahasa Belanda, yaitu daggled. Erat dengan kata dagloner
diartikan melakukan pekerjaan sebagai buruh atau pekerja harian. Sehingga tanah
delog mempunyai arti sebagai lahan yang bias ditanami tebu yang dikerjakan oleh
penduduk desa sebagai pekerja upahan.
Perkembangan
setelah 1910 menunjukkan perluasan lahan perkebunan tebu tampak lebih pesat
lagi. Tahun 1920 pengusaha swasta telah menguasai sekitar 10.265 bau lahan
pertanian yang disewa untuk keperluan perkebunan tebu, 6700 bau merupakan lahan
produktif. Pabrik gula Bojong menguasai lahan perkebunan 2600 bau, pabrik gula
Purwakarta dengan luas sekitar 1,800 bau, sedangkan Klampok dengan luas 3.425
bau. Pabrik gula di Kalibagor menguasai seluas 2.240 abu dan pabrik Kalirejo
memiliki area seluas 2.000 bau. Hal ini terbukti bahawa perekonomian bahkan
pengembangan kebudayaan semakin Nampak terutama perubahan gaya hidup serta
berkembangnya pelayanan publik.
C.
Pengembangan jaringan transportasi
Akhir abad 19 transportasi sedikit demi sedikit dibenahi
keterlibatan pihak swasta dalam perekonomian pun semakin meningkat. Tahun 1889
berdiri pabrik gula di Klampok yang dipimpin oleh administratur J.T de Ruijter.
Tahun 1891 berdiri dua pabrik gula swasta di Bojong yang dipimpin oleh administratur
H.C.C Fraissinet dan di Kalimanah dipimpin oleh administratur Ch. Conradi. Dua
tahun kemudian (1893) berdiri pabrik gula di Purwakerta yang dipimpin oleh
administratur M.C Brandes. Disusul kemudian berdiri pabrik gula di Majenang. Berdirinya pabrik gula-gula dan semakin
luasnya perkebunan tebu memberikan timbal balik terhadap perkembangan
transportasi baik bagi peningkatan jalan-jalan yang ada serta pada jenis
angkutan yang ada. Berdirinya pabrik-pabrik gula tersebut telah mendorong
semakin baiknya jaringan-jaringan jalan yang telah ada sebelumnya. Periode
selanjutnya jaringan transportasi membawa dampak yang tidak sedikit terhadap
kondisi sosial ekonomi. Selanjutnya memasuki abad 20 hampir seluruh ruas jalan
yang ada di Banyumas terutama yang menghubungkan kota-kota kabupaten dengan
ibukota distrik dan onderdistrik sudah dalam keadaan baik. Jalan-jalan lain
yang cukup penting dan kemudian ditingkatkan adalah jalan yang menuju sumber
aktifitas perekonomian, baik yang menghubungkan pasar-pasar desa maupun ke
wilayah-wilayah produksi komoditi perdagangan.
Di Banyumas sebelah selatan dan barat perbaikan jalan
juga terus dilakukan. Sebagain jalan dari Wanareja melalui desa Madura menuju
perbatasan Cirebon yaitu sejak Ciawitali sampai sungai Cijolang. Apabila hujan
selalu kebanjiran dari sungau Citandui dan Cijolang sehingga di perkeras dengan
batu kerikil juga ditinggikan dengan cara diludruk. Jalan menyambung sampai
karesidenan Cirebon.
Muncul juga kendaraan bermotor jenis autobus. Disebabkan
karena telah adanya jalan beraspal yang sederhana tahun 1920-an, walaupun jalur
kereta api sudah menghubungkan kota di karesidenan Banyumas tapi seluruhnya
jalan di pemukiman tidak dapat dilewati sehingga penduduk masih kesulitan
berpergian dengan kereta api, selain itu teknologi otomotif yang semakin maju
menjadikan kendaraan bermotor sehingga lebih praktis bisa melewati medan yang
sulit. Tahun 1922 autobis mulai beroperasi untuk umum di Karesidenan Banyumas.
Yang awalnya kurang diminati sehingga beberapa bulan dihentukan tetapi ketika
ruas jalan mulai diperbaiki jenis angkutan ini justru menjadi pilihan penduduk.
Angkutan yang pertama kali berdiri di Banyumas adalah milik orang Cina bernama
H.B. Njoo yang berkedudukan di Purwokerta. Tahun 1920-an Purwakerta menjadi
kota ramai dibanding Banyumas. Awal tahun hanya memiliki lima bus yang melayani
trayek purwakarta-Patikaraja-Cilacap. Purwakarta-Ajibarang-Wangon, serta
Purwakerto-Purbalingga-Klampok. Ketika peminat makin banyak Njoo menambah
armadanya sehingga pada tahun 1927 mempunyai 12 bus.
Munculnya pemukiman-pemukiman baru di Banyumas juga
mendorong semakin bertambah panjangnya jalur jalan raya. Sehingga terjadi
proses yang susul-menyusul antara mekarnya wilayah-wilayah pemukiman dengan
panjangnya jalur darat dan jalur kereta api membentuk sebuah jaringan jalan
yang sangat rumit satu dengan lainnya. Di sela jaringan tumbuh
pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin padat. Kemudahan-kemudahan untuk
bepergian menjadikan wilayah pemukiman penduduk semakin melebar ke daerah-daerah
yang semula dikategorikan sebagai daerah pinggiran.
Stasiun atau terminal juga menjadi unsur yang sangat
penting bagi tumbuh dan berkembangnya pemukiman penduduk. Dengan adanya stasiun
itu maka muncullah aktifitas-aktifitas perekonomian seperti toko-toko
kelontong, rumah makan, penginapan, penitipan sepeda, perubahan gaya hidup dan
pertunjukan kesenian.
D.
Pelayanan publik
1. Hotel
dan gedung pertunjukkan
Awal abad XX di Banyumas bermunculan tempat hiburan
seperti gedung pertunjukkan dan Societeit Slamet. Gedung Societeit Slamet
dibangun orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, administratur pabrik dan
manager perkeretaapian dan sebagainya yang anggotanya terbatas kelangan
Belanda.
Pada saat itu nampak terasa diskriminasi sosial ekonomi
antara ketiga lapisan penduduk. Lapisan pertama orang Belanda, lapisan kedua
para pedagang yang terdiri dari orang Tionghoa, dan lapisan ketiga adalah orang
bumiputra. Orang Belanda memiliki gaya hidup sendiri yaitu eksklusif, sehingga
mereka membangun suatu Societeit seperti tersebut di atas beserta gedung yang
luas. Bahkan pada saat itu ada tulisan yang menyakitkan penduduk pribumi
berjudul “Verboden Voor Inlanders en Honden” yang berarti tempat tersebut
dilarang untuk orang bumiputera dan anjing. Untuk itu masyarakat Banyumas
mendirikan societeit panti Soemitro didekat alun-alun, bertindak sebagai
pelindung ialah bupati Banyumas. Disitu disediakan bermacam-macam sarana rekreasi
seperti ruang permainan bilyard, ping pong dan pertunjukan kesenian Jawa
seperti gamelan. Terdapat pula beberapa hotel di Banyumas seperti Van de Beek,
Tram Hotel dll. Selain itu dibangun tempat rekreasi bagi para pejabat Belanda
di wilayah lereng gunung selamet dikenal dengan nama Baturaden.
2. Bank
dan pasar
Pertengahan abad 19 di Banyumas berkembang suatu lembaga
yang berfungsi memberi bantuan kepada pengawai pemerintah dan rakyat kecil.
Lembaga tersebut bertujuan agar terhindar dari lintah darat, badan itu bernama
bank penolong dan tabungan bagi pejabat pribumi Purwokerta dikenal dengan Bank
Priyayi.
Bank ini sebagai cikal bakal Bank Rakyat Indonesia yang
berdiri atas prakarsa patih Purwokerta; Wiryaatmaja. Selain itu dibangunlah
pasar dan toko untuk meningkatkan perekonomian diwilayah purwakarta. Yang
sebagian besar didominasi orang-orang Cina.
3. Pabrik
Awal abad 20 sektor industri belum banyak berkembang di
kota Purwakerta yang hanya memiliki beberapa pabrik tahun 1930-an. Seperti
pabrik gula, pabrik es serta pabrik minyak kelapa milik Rouwenhorst Mulder.
Untuk mendorong perkembangan industri pemerintah
mendirikan berbagai Consultatie-bureau yang menyelenggarakan berbagai pelatihan
dan prkatik pembuatan macam-macam industri rumah tangga seperti sendok, garpu,
kertas, anyaman bambu, sabun, kecap, payung, kain tenunan. Dengan adanya
latihan ini diharapkan para penduduk dapat secara mandiri mendirikan industri
rumah tangga dengan model kecil. Sebuah perkumpulan pedagang ikan laut berdiri
pada sekitar tahun 1930-an. Maksud didirikannya ialah supaya lelang ikan laut
segar dapat dilakukan di wilayah Banyumas.
Karakteristik kota pedalaman ditandai dengan perekonomian
yang lebih banyak bertumpu pada sektor agraris. Untuk mendukung perkembangan
sektor agraris di Banyumas, landbouwconsulent dan zaadhoeve didirikan untuk
memberikan layanan di bidang pertanian. Zaadhoeve yang berdiri di wilayah
persawahan berkoh merupakan sebuah program intensifikasi pertanian di mana para
petani diberi pelatihan tentang groenbemesting, terrasering dll. Disamping itu
jenis pekerjaan yang ditekuni penduduk pribumi antara lain menjadi buruh di
pabrik-pabrik dan perkebunan di sekitar wilayah Bayumas. Selain memiliki
wilayah luas untuk menamam padi dan tebu, wilayah Banyuma merupakan daerah
perkebunan penghasil indigo, kopi, kelapa, coklat, dan tembakau.
E.
Malaise Di Banyumas
Tahun 1930-an dunia mengalami krisis ekonom. Kondisi di
tingkat global berdampak juga di Banyumas. Dampak di Banyumas mulai tahun 1933
berada dalam kesukaran-kesukaran yang menyedihkan. Penutupan pabrik-pabrik gula
di Kalibagor, Kalmpok, Sumpiuh, Purwakerta, dan Bojong membawa dampak yang
besar bagi masyarakat Banyumas. Setiap tahunnya setiap pabrik rata-rata
mengeluarkan uang satu juta rupiah untuk sewa tanah, nafkah pegawai dan kaum
buruh. Namun, dengan penutupan pabrik gula, beribu-ribu orang kehilangan mata
pencaharian. Para petani harus mengembalikan uang persekot dari kontrak sewa
tanahnya yang telah diterimanya. Bersamaan itu tanaman padi banyak yang tidak
berhasil panen akibat musim kemarau yang panjang dan terserang tikus. Hal ini
menimbukan kemiskinan rakyat kian hari kian meningkat. Pengemis laki-laki,
perempuan, maupun anak-anak, tampak berkeliaran di kota-kota, terutama pada
hari minggu. Pakaian koyak, badan kurus kering, kaki bengkak tanda penyakit honger oedeem.
Sumber pencaharian di pabrik, kebun dan onderneming serta
perburuhan telah hilang lenyap. Rumah gadai penuh dengan pakaian, perhiasaan,
perkakas rumah tangga, dan alat-alat pertanian. Barang yang digadaikan tidak
dapat ditebus sehingga terpaksa dijual dihadapan umum dengan harga yang sangat
rendah. Rakyat tidak hanya menderita karena kekurangan uang namun juga
kekurangan makanan. Di desa-desa sangat kekurangan makan, bahkan sama sekali
tidak ada. Meski demikian mereka ditanya sudah makan menjawab sudah, setelah
ditelusuri belum makan sejak dua tiga hari lalu bahkan lebih. Tidak makan
sesuap nasi hanya daun-daunan, ares pohon pisang, gaber, atau gelang. Sehingga
badannya lemah dan mudah diserang penyakit seperti gudig, koreng, kaki bengkak,
patek dan borok. Selain itu infuenza dan malaria yang menelan korban banyak.
Rakyat yang tidak mampu membeli makan sering kali
terpaksa makan tempe bongkrek yaitu makanan yang terbuat dari kedelai dan ampas
kelapa. Makanan ini banyak disukai rakyat tapi kadang ada yang beracun.
Beberapa orang meninggal akibat tempe bongkrek.
Kemiskinan di desa-desa makin meningkat ditandai dengan
barang-barang rumah tangga bahkan hingga atap rumah habis dijual. Pijaman bank
makin bertambah dan tidak terbayar lagi, pajak bumi bertahun-tahun menunggak,
serta mundurnya hasil pertanian. Beberapa usaha yang dilakukan oleh bupati
Raden Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata mengatasi kemiskinan antara lain:
1.
Kolonisasi,
anjuran untuk pemegang sawah yang tidak mempunyai harapan karena uang sewa
tanah habis agar menyewakan tanahnya pada orang lain yang mampu mengerjakan
sawah dengan baik, uang kerugian ditetapkan sepantasnya. Anjuran ini disambut
baik, banyak yang menggunakan kesempatan untuk membereskan penghidupannya
selaras dengan anjuran bapak bupati. Pertanian dikerjakan lebih giat, pajak
bumi dibayar lancar, dan hasil produksi bertambah. Orang-orang desa yang dulu
tidak ingin meninggalkan desanya berbondong-bondong minta dipindahkan ke tanah
seberang yaitu di tanah kolonisasi di lampung dan palembang. Tahun 1934, 1935,
1936 beribu-ribu somahan mengajukan permintaan supaya dikirim ke tanah
seberang. Banyak yang ditolak kerena kondisi badannya lemah terkena penyakit
malaria, oedeem, tuberculose, mijnworm, dan penyakit kulit. Meraka yang minta
dipindahkan umumnya terikat macam-macam pinjaman, persoalan sulit yang harus
dipecahkan oleh pangreh pradja sebelum mereka dikirim ke tanah seberang.
2.
Dapur
umum didirikan bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan. Dapur umum
didirkan di distrik-distrik, onderan-onderan, maupun didesa-desa. Pertolongan
tersebut diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Keperluan operasional dapur
umum dipikul oleh penduduk secara gotong-royong, sumbangan mengalir dalam bentuk
uang, bahan makanan dan pakaian.
3.
Gerakan
kaum wanita; dipimpin oleh istri bupati yaitu raden ayu siti subindjei
Gandsubrata. Kaum wanita Banyumas menyisingkan lengan baju demi melihat
penderitaan warga masyarakat. Mereka mendirikan sebuah rumah miskin, di
djajengan sebelah timur karesidenan, demikian pula di pasarradja deket
kawedanan, dan tiap-tiap distrik kota. Orang-orang berada dirumah miskin tidak
hanya diberi makan dan pakaian, namun juga diberi pelajaran membuat
keterampilan, antara lain membuat bermacam-macam alat rumah tangga yang
kemudian dijual, pendapatan dari penjualan barang-barang dimasukkan ke kas
perkumpulan.
Selain hal-hal diatas, desa-desa diadakan
pekerjaan-pekerjaan pertolongan seperti membuat selokan, melebarkan jalan,
membuat bendungan (dam), mengerjakan tanah dan membuka hutan. Usul-usul dari
pemerintah daerah supaya diadakan pekerjaan besar-besaran meiputi:
1.
Mengadakan
pengairan guna keperluan distrik Kroya,
2.
Membuat
jembatan besar di Rawalo
3.
Mengadakan
electrise central di Ketenger.
Pemerintah Belanda
untuk mengatasi malaise melakukan penghematan pembiayaan pemerintahan, jabatan
wedanan dan asisten wedanan di Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara
dihapuskan. Pekerjaan keduanya dilimpah tugaskan ke patih. Gaji bupatipun diturunkan.
Pemerintah
menganjurkan melakukan pemupukan dengan tanaman hijau ditanah yang keras.
Tanaman orok-orok ditanam di sawah untuk menggemburkan tanah. Lahan miring yang
mudah erosi dan tidak bisa mengikat air karena gundul, ditanamin pohon
kemlandingan. Penanaman itu membawa dampak pengurangan pengrusakan atau
pencuruan pohon dihutan untuk kayu bakar. Usaha tersebut berhasil, pengrusakan
hutan menjadi berkurang sehingga erosi bisa dicegah. Para petani mulai
merasakan hasilnya sawah mudah mendapat pengairan dan tanahnya gembur untuk
ditanami. Pada tahun 1936 usaha ini semakin dipergiat, pemerintah menargetkan
seleksi untuk semua wilayah Banyumas lima tahun ke depan. petani yang sudah
merasakan hasil dari program pemerintah tersebut menyambut dengan senang
rencana tersebut.
Bupati Gandasubrata
yakin bahwa penghidupan rakyat yang serba sederhana tersebut sangat tergantung
pada hasil pertanian, pabrik-pabrik, dan onderneming-onderneming. Berusaha
membuka kembali pabrik gula Kalibagor. Residen Banyumas sangat membutuhkan
bantuan pemerintah dalam upayanya menghidupkan kembali pabrik gula di
daerahnya. Pabrik dibuka kembali setelah diberi toeslag. Tahun 1935 mulai tanam
tabu dan pada tahun 1936 mulai digiling lagi. Penanaman tebu dilakukan di area
pabrik Kalibagor, Purwakerta, dan Bojong, terletak di Banyumas dan Purbalingga.
Kaum buruh dapat bekerja kembali dan uang sewa tanah mulai mengalir lagi ke
desa-desa.
Tahun 1936 kondisi
Banyumas mulai membaik, persawahan, kebun, dan ladang dipenuhi tanaman yang
hijau dan subur. Penanaman pohon damar besar-besaran memberikan andil besar
bagi mata pencaharian rakyat. Rakyat telah terbebas dari kekurangan makan dan
bisa hidup layak cukup pangan dan sandang. Akhir tahun 1936 sampai pertengan
tahun 1938 dilakukan pembangunan berbagai prasarana dan sarana untuk kemajuan
Banyumas, yaitu dengan dibangunnya tenaga listrik. Atas jasa bupati
Gandasubrata yang berhasil membawa kemajuan di ekonomi Banyumas diberikena
gelar adipati 1933, dan pada tahun 1939 juga 1941 diangkat sebagai anggota
Commissie Van bijstand voor de post, telegraaf en telefoondienst.
SOSIAL BUDAYA DIBANYUMAS MASA BUPATI GANDASUBRATA
A.
Pelapisan Sosial Masyarakat Di Banyumas
Diskriminasi sosial ekonomi antara ketiga lapisan
penduduk. Lapisan pertama orang Belanda, lapisan kedua para pedagang yang
terdiri dari orang Tionghoa, dan lapisan ketiga adalah orang bumiputra. Orang
Belanda memiliki gaya hidup sendiri yaitu eksklusif. Pelapisan masyarakat
Banyumas sudah ada sejak jaman Belanda, hal ini sangat terlihat pada sektor
pekerjaan. Seperti bidang pertanian dikerjakan oleh para pribumi, sektor
perdagangan dikerjakan oleh penduduk cina dan asia timur lainnya. Mau tidak mau
muncullah pelapisan sosial dibidang ekonomi. Yang menjadikan dampak bahwa Cina
lebih banyak pengalaman di perdagangan sedang pribumi hanya berpengalaman
sebagai petani itupun haya tujuan pangan berikutnya atau hanya dikonsumsi
sendiri bukan untuk dijual. Demikian pula lapisan pribumi yang terbagi menjadi
dua yaitu priyayi dan wong cilik dimana hal tersebut merupakan hal yang kontra
produktif untuk kondisi sekarang. Kehidupan elite pribumi diantaranya keluarga
bupati, terpengaruh dengan orang Belanda yang menggunakan bahasa Belanda
disamping bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.
B.
Arsitektur
Tata ruang ibukota Banyumas masa kolonial dipengaruhi
pola sosiokultur Jawa dan masuknya kolonialisme. Kawasan alun-alun dengan dalem
dan pendopo kabupaten, masjid, penjara, pasar, dan alun-alun sebagai jantung
pemerintahan merupakan satu kesatuan sebagai bagian dari kota-kota tradisional
di Jawa. Hal ini merupakan contoh konkrit adanya upaya menjaga keseimbangan
antara individu dengan Tuhan dan lingkungan yang dilakukan secara bersamaan
demi kepentingan bersama di dalam masyarakat. Selain itu adanya sarana dan
prasarana diantaranya terkait peneranan listrik, bank, sekolah dan percetakan.
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa penduduk Cina
lebih berperan dalam bidang perdagangan. Purwakerta pada awalnya merupakan
pusat perdagangan (dengan pasar Wage sebagai intinya) yang selanjutnya oleh
pemerintah kolonial Belanda dikembangkan melalui pembangunan pabrik gula, dan
membangun kota baru disebelah kota lama sebagai pusat pemerintahan. Hal ini
diawali dengan pemindahan kabupaten, kantor dan rumah dinas asisten residen
dari Ajibarang dan dilanjutkan dengan pemindahan kabupaten dan karesidenan dari
Banyumas ke Purwakerta.
Penduduk Banyumas secara umum dapat dikelompokkan dalam
empat kelompok masyarakat. Penduduk asli Banyumas yang merupakan mayoritas
penduduk yang sebagain besar berprofesi sebagai petani. Para bangsawan
keturunan kerajaan Mataram, yang sengaja ditempatkan di Banyumas atau bangsawan
karena perkawinan dengan masyarakat setempat. Bangsa Belanda sebagai pejabat
dan pegawai pemerintah kolonial Belanda maupun pabrik gula di Kalibagor. Bangsa
Cina sebagai pendatang yang umumnya berprofesi menjadi pedagang.
Bangunan arsitektur Cina dijumpai dalam bentuk tempat
tinggal, pertokoan, dan tempat peribadatan orang Cina. Menurut informasi
keberadaan kondisi sosial ekonomi penduduk seperti tersebut sangat berpengaruh
terhadap tempat tinggal. Para bangsawan keturunan kerajaan Mataram biasanya
menggunakan bentuk limasan pacul gowang. Sedangkan penduduk asli Banyumas
menggunakan bentuk tikelan atau joglo (untuk tokoh masyarakt), srotong untuk
masyarakat biasa.
C.
Kerajinan Batik
Sektor kerajinan di Banyumas cukup variatif namun
kerajinan paling menonjol adalah batik. Penguasa untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan cara mengembangkan kerajinan rumah tangga. Penduduk
di Karesidenan Banyumas terutama bermata pencaharian sebagai petani dan pekerja
kerajinan. Sektor kerajinan pada saat itu antara lain: batik, keranjang, tenun,
genteng, jambangan bunga, perak, emas dan tembaga. Mata pencaharian lainnya
seperti pande besi, membuat kalengan untuk mengemas daging, pekerja bangunan, pengrajin
bumbu untuk peralatan musik dan payung, membuat batu bata, pembakaran gamping,
membuat gula jawa, minyak kelapa, cerutu dan penjahit pakaian.
Munculnya budaya batik tidak lepas dari dinamika
kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Batik di Sokaraja dibawa oleh
pengikut-pengikut pangeran Dinponegoro setelah selesainya tahun 1830. Yang
menetap disana dan budaya membatik merambah pada masyarakat Sokaraja dan akhir
abad 19 berhubungan langsung dengan pembatik di Solo dan Ponorogo. Batik
Banyumas dikenal sejak dahulu bermotif dan warna khusus, dan sekarang dinamakan
Batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan
Cina di samping mereka dagang bahan batik. Dahulu batik digunakan oleh para
bangsawan setelah dibawa keluar batik juga digunakan oleh para masyarakat
biasa, terutama perempuan namun tetap memiliki perbedaan dengan batik yang
dipakai bangsawan.
Masa kejayaan batik Banyumas pada tahun 1930-an setelah
perang dunia kesatu. Perusahaan besar yang terkenal pada saat itu milik orang
Cina yang namanya Kho Siang Kie. Perusahaan ini mampu membeli peralatan batik
(canting dan pola) dari pembatik bengsawan yang bangkrut karena tidak ada
regenerasi. Batik Banyumas identik dengan motif Jonasan yaitu kelompok motif
non geometrik yang didominasi dengan warna-warna dasar kecoklatan dan hitam.
DAFTAR PUSTAKA
Hasttrini,
Y Dkk. 2015. Sejarah Perkembangan Ekonomi
Dan Kebudayaan Di Banyumas Masa Bupati
Gandasubra Tahun 1913-1942. Yogyakarata: Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB)