Minggu, 18 Juni 2017

Sejarah Perkembangan Ekonomi Dan Kebudayaan Di Banyumas Masa Gandasubrata Tahun 1913-1942 Karya : Yustina, Darto & Theresiana



GAMBARAN UMUM BANYUMAS AWAL ABAD XX
A.    Kondisi geografis
Banyumas lebih menunjukkan sebagai wilayah pedalaman yang terisolasi oleh pengunungan yang membentang, baik sepanjang bagian utara maupun selatan. Yaitu pegunungan Serayu selatan di sebelah selatan dan pengunungan Serayu utara di bagian utara yang merupakan sambungan dari pegunungan Dieng disebelah timur laut yang membujur ke arah barat. Diantara pengunungan terletak daerah inti Banyumas  yang ditengah-tengah mengalir sungai serayu. Sehingga Banyumas dikenal dengan sebutan lembah Serayu. Kondisi tanah dari vulkanis muda yang subur dan sebagian besar berupa persawahan yang sangat cocok untuk budidaya padi. Sungai Serayu dan anak-anaknya mampu mengairi pertanian sehingga memungkinkan penanaman dilakukan sepanjang musim. Sehingga pada masa kolonial Banyumas dipandang penting sebagai penyelenggaraan perkebunan tebu.
Sebelum berada di bawah kekuasaan Belanda, karesidenan Banyumas menjadi wilayah kekuasaan Mataram yang termasuk dalam teritorial Mancanegara Kulon. Hari jadi Banyumas tanggal 6 April 1582 pada masa kesultanan Pajang menunjukkan kapan Banyumas berdiri. Sebelum dibawah kekuasaan Belanda, wilayah Banyumas dibagi dalam Banyumas Kesepuhan dan Banyumas Kanoman. Banyuma kesepuhan meliputi: Banyumas, Adirejo, Purwokerta, Ayah, Jeruk legi, Daya luhur, sedangkan Banyumas Kanoman meiputi: Banjar, Purbalingga, Sukaraja, Panjer. Dengan dimulainya pemerintah Belanda di Banyumas, pembagian Kasepuhan dan Kanoman hilang dan selanjutnya hanya terdapat seorang bupati di Banyumas.
Karesidenan Banyumas merupakan daerah yang tanahnya berbentuk oval dan membentang dari timur ke barat. Lingkungannya tidak ramai karena tidak dilalui jalan kereta api. Angkutan yang ada meliputi dokar, gerobak dan mobil. Banyumas merupaka wilayah yang besar di Jawa. Banyumas terdiri dari empat distrik Banyumas, Kalirejo (Adireja), Sukaraja, dan Purworejo. Pemerintah Belanda berkepentingan dengan daerah sebelah selatan Banyumas sebagai pelabuhan dan tempat mengumpulkan barang-barang hasil setempat dan barang-barang yang baru datang.
B.     Kondisi lingkungan
Pada awal abad 20 lingkungan Banyumas mulai berubah setelah terjadi eksploitasi wilayah oleh Belanda terutama pembukaan lahan untuk perkebunan, pemukiman, dan kegiatan industri. Kondisi lingkungan Banyumas sangat relevan sebagai tempat berkembangnya nyamuk anopheles ludlowi, yaitu daerah sungai yang kering pada musim kemarau maupun daerah pantai, juga daerah rawa-rawa. Tidak menguntungkan pada musim kemarau panjang. Sebaliknya musim hujan terus menerus menyebabkan penyakit demam. Kondisi semakin buruk jika banyak angin dan lembab. Pada awal abad 20 pemerintah membuka gudang-gudang untuk barang-barang dan mengadakan perluasan jalur kereta api sampai ke pelabuahn Cilacap. Sejalan dengan perkembangan infrastruktur tersebut Cilacap menjadi pusat aktivitas ekspor dan transportasi. Perkembangan trasnformasi darat dan laut menjadikan karesidenan Banyumas menjadi daerah yang tidak terisolir. Lingkungan pemukiman penduduk tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat. Terdapat keseragaman dalam bentuk rumah dan bahan bangunan yang digunakan. Bahan dasar utama bangunan dari bambu dan kayu dengan atap rumbia. Di daerah pantai hampir semua rumah di atas tiang dengan lantai beralasan ranting dan dahan-dahan pohon, kecuali rumah kepala desa yang beralaskan tikar. Rumah penduduk pedalaman juga mempunyai kesamaan bahan bangunan yang menggunakan semen dan genteng tidak banyak. Sebagian besar penduduk pribumi tinggal di pedesaan dan sebaliknya hampir semua penduduk asing tinggal di perkotaan dan rumah mereka umumnya sudah memakai semen dan genteng.
Air ledeng sejak awal abad 20 sudah digunakan untuk keperluan sehari-hari, sebagai air minum, memasak, dan keperluan rumah tangga lainnya. Sumber air digunakan untuk sumber irigasi bagi pertanian dan perkebunan yang sudah dibangun sejak tahun 1833. Penduduk daerah pantai menggunakan air hujan untuk keperluan sehari-hari. Jika musim kemarau menggunakan air sungai yang disimpan dalam kendi dan kaleng minyak tanah.
C.    Teori dalam pengkajian di Banyumas masa bupati Gandasubrata
Menurut Soekanto (2005: 103) mengemukakan perubahan sosial adalah sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi atau pun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Sehingga perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mencakup perubahan dalam aspek-aspek struktur dari suatu masyarakat, atau karena terjadinya perubahan dari faktor lingkungan, dikarenakan berubahnya sistem komposisi penduduk, keadaan geografis, serta berubahnya sistem hubungan sosial, maupun perubahan pada lembaga kemasyarakatannya. Dalam mengkaji ekonomi, sosial dan budaya di Banyumas penulis menggunakan teori perubahan sosial karena terjadi dampak perubahan dalam segala bidang yang mencakup antara lain pada sistem ekonomi, sosial dan budaya bahkan politik. Namun yang menjadi fokus utama adalah pada sistem ekonomi dan sosial. Perubahan Banyumas dalam bidang ekonomi ini yaitu sebelum adanya kolonial Belanda (masih berada dibawah kekuasaan mancanegara klien kesunanan Surakarta) penduduk bermata pencaharian agraris atau masih dalam petani tradisional. Namun semenjak berada dibawah kekuasaan Belanda, mata pencaharian penduduk Banyumas mulai beragam, seperti adanya pabrik dan perkebunan yang nantinya membutuhkan banyak buruh upahan, sebagai petani yang tidak hanya menanam padi sebagai substansi dan berbagai perubahan dalam hal ekonomi lainnya. Sedangkan perubahan dalam bidang sosial, terjadinya lapisan sosial di masyarakat dan adanya diskriminasi antar masyarakat. Selain itu sistem gotong royong dan kekeluargaan sangat terjalin pada masa itu terbukti dengan terjadinya krisis malaise yang melanda dunia, bupati Gandasubrata di Banyumas memiliki solusi untuk mengatasinya salah satunya mendirikan dapur umum untuk diberikan kepada orang-orang yang tidak memimiliki pekerjaan dan tidak dapat menghidupi dirinya sendiri, selain itu memberikan pakaian dan juga pelatihan keterampilan.
EKONOMI BANYUMAS MASA KOLONIAL
A.    Ekonomi banyumas masa colonial
Ekploitasi ekonomi ini diawali setelah perang diponegoro yang berlangsung dari tahun 1825 sampai tahun 1930. Selama perang berlangsung, pihak kolonial Belanda telah menanggung beban lebih dari f30.000.000 disamping biaya perang yang ditaksir sekitar f2.000.000. semua dana itu harus diperoleh kembali melalui eksploitasi kolonial yang dijalankan secara intensif.
Banyumas sebagai daerah kilen Kasunanan Surakarta, dilepas dan diserahkan secara resmi diempatkan sebagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan kolonial pada 22 juni 1830. Untuk menetapkan kekuasaan di Banyumas pihak kolonial secara intensif mengadakan pembenahan lahan. Usaha itu dipimpin oleh residen Pekalongan yang pada waktu itu dijabat oleh Hallawijin. Tujuan utama usaha pembenahan wilayah adalah untuk menginventarisasikan luas dan keadaan tanah, kondisi wilayah, jumlah penduduk, maupun kondisi masyarakat pribumi. Dengan cara ini pemerintah kolonial akan segera memperoleh gambaran tentang berbagai permasalahan yang harus dihadapi, sehingga dapat mengatasi berbagai persoalan dengan kebijaksanaan yang setepat mungkin. Tindakan yang dilakukan yaitu memeriksa dan mengatur tanah untuk memudahkan penarikan pajak kepada penduduk untuk menggantikan penyerahan wajib yang ditarik oleh kasultanan. Untuk melaksanakan tugas itu, residen Pekalongan menunjuk tiga orang pembantunya yaitu Daendels melaksanakan tugasnya di bagian timur Banyumas, Sigaluh, Banjar dan Wonokerto serta Mandiraja. Sedangkan Tack melaksanakan pendataan di wilayah Purbalingga, Kertanegara, Ayah, Jeruklegi, dan Donan. Kemudian Vitalis bertugas di Purwokerto, Sokaraja, Ajibarang, Patikraja, Dayahluhur, Pancang dan Perdikan.
Dari tugas itu terdapat laporan sementara yaitu jumlah penduduk dua daerah utama adalah yang pertama Banyumas Kasepuhan  berpenduduk 500 cacah, Ayah 800 cacah, Patikraja 400 cacah, Purwokerta 400 cacah, Banjar 200 cacah dan Pancang 416 cacah. Yang kedua, Banyumas Kanoman berpenduduk 500 cacah, Panjer 800 cacah, Sokaraja 400 cacah, Purbalingga 400 cacah, Banjar 200 cacah dan Perdikan 400 cacah. Sehingga langkah yang ditempuh adalah melalui usaha membuka isolasi daerah Banyumas, langkah yang ditempuh membuka pelabuhan laut Cilacap yang berada di sekitar pulau Nusakambangan. Daerah pantai dapat dijangkau dari pedalaman Banyumas melalui jalur sungai Serayu.
Berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral No. 1 tahun 1830 maka keresidenan Banyumas secara resmi terbentuk pda tanggal 18 September 1830. Karesidenan Banyumas terdiri dari empat kabupaten dan satu daerah kepatihan. daerah-daerah yang lama disatukan kembali, daerah itu meliputi Karangkobar (Pekalongan), Tanah Madura (Cirebon), Karangsari (Tegal), dan Nusakambangan yang sejak tahun 1706 sudah berada dibawah kekuasaan kompeni.
Dalam melaksanakan tugasnya residen Banyumas berkedudukan di Banyumas dan dibantu oleh tiga orang residen. Purbalingga dan Banjarnegara Asisten residen dibantu oleh seorang upas dan seorang sekretaris pengadilan negeri. Secara system administrative ditentukan melalui dua jalur, yaitu 1) untuk pamong praja Belanda, tediri dari gewest, afdeeling dan onderafdeeling 2) untuk pamong raja Indonesia  (pribumi) terdiri dari regentschap (kabupaten), district (kawedanan), dan onderdisctrict (kecamatan). Residen Banyumas yang berkedudukan dikota Banyumas dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh asisten residen yang masing-masing ditempatkan di Ajibarang, Purbalingga, dan Banjanegara. Dibantu pula oleh upas dan sekretaris pengadilan negeri. Asisten residen membawahi langsung bupati, karena pejabat ini bertindak sebagai pimpinan tiap-tiap afdeeling. Dengan demikian bupati berada langsung di bawah asisten residen. Keadaan semacam ini berlangsung hingga tahun 1931, sesudah itu kedudukan bupati tidak berada dibawah tetapi disamping asisten residen.
Adapun tugas asisten residen dibantu oleh beberapa kontrolir yang masing-masing mempunyai suatu wilayah tugasnya sendiri. Luas wilayah sama dengan luas kabupaten. Kemampuan dalam system kekuasaan, mendorong pemerintah colonial untuk melaksanakan eksploitasi ekonomi, yang menyangkut pengerahan tenaga kerja paksa. Dalam system pajak di Banyumas penduduk diharuskan membayar pajak tanah, pajak keluarga, pajak kepala, dan pajak pemilikan.
Penetapan pembayaran pajak keluarga dipengaruhi oleh kemampuan seseorang. Pertama, diukur dari banyaknya jumlah tenaga pembantu atau rayat, jumlah barayat yaitu anggota keluarga maupun  bukan yang berada di bawah perlindungannya atau yang hidup berada di bawah satu bangunan rumah. Kedua diukur dari tingkat kekayaan atau kepemilikan seperti bangunan rumah. Dengan demikian setiap rumah dikenakan pajak yang bervariasi tergantung dari kondisi perumahan, kekayaan dan jumlah anggota brayat yang berada di bawah perlindungannya.
Selain itu penduduk juga harus membayar pajak tanah yang dibebankan kepada setiap petani sikep. Jumlah pajak yang harus diserahkan kepada pemerintah juga bervariasi. Yang berlahan luas mempunyai tanggungan berbeda dengan luas tanah yang lebih sempit. Yang tidak memiliki tanah atau numpang tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Selain itu ada pula penyerahan wajib hasil perkebunan untuk kepentingan ekspor. Ada tiga jenis tanaman komoditi yang menjadi andalan selama awal abad XX yaitu kopi, indigo, dan tebu. Tanaman lain yaitu teh, kapas, kayumanis, tembakau, dan lada. Dengan demikian sejak Banyumas dijadikan sebagai daerah kolonial.
B.     Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula
Akhir abad XIX pemerintah menerapkan cara baru untuk mendapatkan tanah pertanian. Pemerintah perlu mendapatkan persetujuan dari penduduk pemilik tanah yang bersangkutan. Mengenai luas tidak lebih dari perlima dari tanah pertanian yang digarap oleh penduduk desa.
Awal abad 19 sampai awal abad 20 mulai dicoba penanaman tebu pada lahan sawah dengan luas sekitar 64 bau dari luas 100 bau yang tersedia. Perkembangan areal perkebunan tebu masa berikutnya menjadi begitu lambat. Dalam tahun 1840, lahan yang digunakan untuk perkebunan tebu hanya dapat diperluas menjadi sekitar 400 bau. Pabrik gula pertama didirikan di karesidenan banyumas adalah pabrik Kalibagor dalam tahun 1838. Area perkebunan tebu untuk pabrik berada di dua kabupaten yaitu Purbalingga dan Banyumas. Antara taun 1840-1855 luas areal yang disewa relatif tetap yaitu sekitar 400 bau, dengan 111 bau sampai 280 bau sebagai lahan produktif.
Tahun 1895 di Banyumas telah berdiri lima perusahaan perkebunan tebu dengan luas yang disewa 2.934 bau. Perkebunan tebu dan pabrik gula milik pemerntah di Kalibagor diserahkan pengelolaan kepada swasta yaitu Maatschappij Exploitatie der suikerfabriek Kalibagor. Pabrik Kalimanah oleh Naamlooze Vennootschhap Suikerfabriek Kaliklawing. Pengelola pabrik Klampok dan pabrik Purwokerta oleh Naanlooze Vennootschap Suikerfabriek Poerwokerto.
Keadaan tersebut mengalami pergeseran tahun 1900, area tebu di Banyumas mencapai 2.525 bau. Yang beroperasi pada tiga kabupaten, Purbalingga, Purwokerto, dan Banyumas. Dan perkembangan luas area tebu ternyata lebih mengalami peningkatan yang sangat tajam. Tahun 1910 terus mengalami peningkatan yang cukup tajam, hal ini disebabkan oleh masuknya modal asing/swasta terutama dalam perkebunan tebu dan gula.
Dalam penggunaan lahan untuk penanaman tebu digunakan system pengiliran yang ketat. Tanah dibagi menjadi bagian-bagian sehingga disebut glebagan. Pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian. Setiap tahun satu bagian ditanami tebu dan dua bagian digarap petani untuk ditanami tanaman pangan baik tanaman padi maupun palawija. Kenyataan di lapangan menunjukkan perbedaan yang sangat kontras, dalam praktiknya mengingat umur tebu lebih dari satu tahun (15-19 bulan), maka selama masa peralihan jumlah area yang ditanami tebu mancapai dua bagian. Dengan demikian maka lahan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan hanya tersisa satu bagian saja.
Bergilirnya penanaman tebu pada tanah yang disewa itu dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan para pemilik modal. Tanah yang disewa dibagi penggarapannya berdasarkan waktu, sehingga menjamin kontinuitas produksi. Glebagan juga dapat menjamin tingkat kesuburan tanah, sehingga produksi perkebunan tetep maksimal. Kemudian ditinjau dari hak penguasaan tanah, system itu dimaksudkan untuk mencegah agar penguasa perkebunan tidak menguasai tanah desa untuk selama-lamanya. Dengan cara itu gangguan yang ditimbulkan oleh kegiatan perkebunan tebu tidak merusak organisasi komunal desa yang hidup secara tradisional. Oleh sebab itu, maka produser kontrak tanah untuk perkebunan biasanya dilakukan dengan para kepala desa. Para petani tidak dapat secara langsung mengadakan hubungan kontrak, karena masih tetap ada anggapan bahwa tanah sebagai milik desa. Dalam proses itu rakyat juga dipandang belum mampu untuk melakukan hubungan kontrak tanah secara langsung dengan para penguasa.
Tanah pertanian yang digunakan untuk perkebunan di Karesidenan Banyumas dikenal dengan sebutan sawah doleg. Istilah itu diduga merupakan ejaan bahasa Belanda, yaitu daggled. Erat dengan kata dagloner diartikan melakukan pekerjaan sebagai buruh atau pekerja harian. Sehingga tanah delog mempunyai arti sebagai lahan yang bias ditanami tebu yang dikerjakan oleh penduduk desa sebagai pekerja upahan.
Perkembangan setelah 1910 menunjukkan perluasan lahan perkebunan tebu tampak lebih pesat lagi. Tahun 1920 pengusaha swasta telah menguasai sekitar 10.265 bau lahan pertanian yang disewa untuk keperluan perkebunan tebu, 6700 bau merupakan lahan produktif. Pabrik gula Bojong menguasai lahan perkebunan 2600 bau, pabrik gula Purwakarta dengan luas sekitar 1,800 bau, sedangkan Klampok dengan luas 3.425 bau. Pabrik gula di Kalibagor menguasai seluas 2.240 abu dan pabrik Kalirejo memiliki area seluas 2.000 bau. Hal ini terbukti bahawa perekonomian bahkan pengembangan kebudayaan semakin Nampak terutama perubahan gaya hidup serta berkembangnya pelayanan publik.
C.    Pengembangan jaringan transportasi
Akhir abad 19 transportasi sedikit demi sedikit dibenahi keterlibatan pihak swasta dalam perekonomian pun semakin meningkat. Tahun 1889 berdiri pabrik gula di Klampok yang dipimpin oleh administratur J.T de Ruijter. Tahun 1891 berdiri dua pabrik gula swasta di Bojong yang dipimpin oleh administratur H.C.C Fraissinet dan di Kalimanah dipimpin oleh administratur Ch. Conradi. Dua tahun kemudian (1893) berdiri pabrik gula di Purwakerta yang dipimpin oleh administratur M.C Brandes. Disusul kemudian berdiri pabrik gula di Majenang.  Berdirinya pabrik gula-gula dan semakin luasnya perkebunan tebu memberikan timbal balik terhadap perkembangan transportasi baik bagi peningkatan jalan-jalan yang ada serta pada jenis angkutan yang ada. Berdirinya pabrik-pabrik gula tersebut telah mendorong semakin baiknya jaringan-jaringan jalan yang telah ada sebelumnya. Periode selanjutnya jaringan transportasi membawa dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi sosial ekonomi. Selanjutnya memasuki abad 20 hampir seluruh ruas jalan yang ada di Banyumas terutama yang menghubungkan kota-kota kabupaten dengan ibukota distrik dan onderdistrik sudah dalam keadaan baik. Jalan-jalan lain yang cukup penting dan kemudian ditingkatkan adalah jalan yang menuju sumber aktifitas perekonomian, baik yang menghubungkan pasar-pasar desa maupun ke wilayah-wilayah produksi komoditi perdagangan.
Di Banyumas sebelah selatan dan barat perbaikan jalan juga terus dilakukan. Sebagain jalan dari Wanareja melalui desa Madura menuju perbatasan Cirebon yaitu sejak Ciawitali sampai sungai Cijolang. Apabila hujan selalu kebanjiran dari sungau Citandui dan Cijolang sehingga di perkeras dengan batu kerikil juga ditinggikan dengan cara diludruk. Jalan menyambung sampai karesidenan Cirebon.
Muncul juga kendaraan bermotor jenis autobus. Disebabkan karena telah adanya jalan beraspal yang sederhana tahun 1920-an, walaupun jalur kereta api sudah menghubungkan kota di karesidenan Banyumas tapi seluruhnya jalan di pemukiman tidak dapat dilewati sehingga penduduk masih kesulitan berpergian dengan kereta api, selain itu teknologi otomotif yang semakin maju menjadikan kendaraan bermotor sehingga lebih praktis bisa melewati medan yang sulit. Tahun 1922 autobis mulai beroperasi untuk umum di Karesidenan Banyumas. Yang awalnya kurang diminati sehingga beberapa bulan dihentukan tetapi ketika ruas jalan mulai diperbaiki jenis angkutan ini justru menjadi pilihan penduduk. Angkutan yang pertama kali berdiri di Banyumas adalah milik orang Cina bernama H.B. Njoo yang berkedudukan di Purwokerta. Tahun 1920-an Purwakerta menjadi kota ramai dibanding Banyumas. Awal tahun hanya memiliki lima bus yang melayani trayek purwakarta-Patikaraja-Cilacap. Purwakarta-Ajibarang-Wangon, serta Purwakerto-Purbalingga-Klampok. Ketika peminat makin banyak Njoo menambah armadanya sehingga pada tahun 1927 mempunyai 12 bus.
Munculnya pemukiman-pemukiman baru di Banyumas juga mendorong semakin bertambah panjangnya jalur jalan raya. Sehingga terjadi proses yang susul-menyusul antara mekarnya wilayah-wilayah pemukiman dengan panjangnya jalur darat dan jalur kereta api membentuk sebuah jaringan jalan yang sangat rumit satu dengan lainnya. Di sela jaringan tumbuh pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin padat. Kemudahan-kemudahan untuk bepergian menjadikan wilayah pemukiman penduduk semakin melebar ke daerah-daerah yang semula dikategorikan sebagai daerah pinggiran.
Stasiun atau terminal juga menjadi unsur yang sangat penting bagi tumbuh dan berkembangnya pemukiman penduduk. Dengan adanya stasiun itu maka muncullah aktifitas-aktifitas perekonomian seperti toko-toko kelontong, rumah makan, penginapan, penitipan sepeda, perubahan gaya hidup dan pertunjukan kesenian.
D.    Pelayanan publik
1.      Hotel dan gedung pertunjukkan
Awal abad XX di Banyumas bermunculan tempat hiburan seperti gedung pertunjukkan dan Societeit Slamet. Gedung Societeit Slamet dibangun orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, administratur pabrik dan manager perkeretaapian dan sebagainya yang anggotanya terbatas kelangan Belanda.
Pada saat itu nampak terasa diskriminasi sosial ekonomi antara ketiga lapisan penduduk. Lapisan pertama orang Belanda, lapisan kedua para pedagang yang terdiri dari orang Tionghoa, dan lapisan ketiga adalah orang bumiputra. Orang Belanda memiliki gaya hidup sendiri yaitu eksklusif, sehingga mereka membangun suatu Societeit seperti tersebut di atas beserta gedung yang luas. Bahkan pada saat itu ada tulisan yang menyakitkan penduduk pribumi berjudul “Verboden Voor Inlanders en Honden” yang berarti tempat tersebut dilarang untuk orang bumiputera dan anjing. Untuk itu masyarakat Banyumas mendirikan societeit panti Soemitro didekat alun-alun, bertindak sebagai pelindung ialah bupati Banyumas. Disitu disediakan bermacam-macam sarana rekreasi seperti ruang permainan bilyard, ping pong dan pertunjukan kesenian Jawa seperti gamelan. Terdapat pula beberapa hotel di Banyumas seperti Van de Beek, Tram Hotel dll. Selain itu dibangun tempat rekreasi bagi para pejabat Belanda di wilayah lereng gunung selamet dikenal dengan nama Baturaden.
2.      Bank dan pasar
Pertengahan abad 19 di Banyumas berkembang suatu lembaga yang berfungsi memberi bantuan kepada pengawai pemerintah dan rakyat kecil. Lembaga tersebut bertujuan agar terhindar dari lintah darat, badan itu bernama bank penolong dan tabungan bagi pejabat pribumi Purwokerta dikenal dengan Bank Priyayi.
Bank ini sebagai cikal bakal Bank Rakyat Indonesia yang berdiri atas prakarsa patih Purwokerta; Wiryaatmaja. Selain itu dibangunlah pasar dan toko untuk meningkatkan perekonomian diwilayah purwakarta. Yang sebagian besar didominasi orang-orang Cina.
3.      Pabrik
Awal abad 20 sektor industri belum banyak berkembang di kota Purwakerta yang hanya memiliki beberapa pabrik tahun 1930-an. Seperti pabrik gula, pabrik es serta pabrik minyak kelapa milik Rouwenhorst Mulder.
Untuk mendorong perkembangan industri pemerintah mendirikan berbagai Consultatie-bureau yang menyelenggarakan berbagai pelatihan dan prkatik pembuatan macam-macam industri rumah tangga seperti sendok, garpu, kertas, anyaman bambu, sabun, kecap, payung, kain tenunan. Dengan adanya latihan ini diharapkan para penduduk dapat secara mandiri mendirikan industri rumah tangga dengan model kecil. Sebuah perkumpulan pedagang ikan laut berdiri pada sekitar tahun 1930-an. Maksud didirikannya ialah supaya lelang ikan laut segar dapat dilakukan di wilayah Banyumas.
Karakteristik kota pedalaman ditandai dengan perekonomian yang lebih banyak bertumpu pada sektor agraris. Untuk mendukung perkembangan sektor agraris di Banyumas, landbouwconsulent dan zaadhoeve didirikan untuk memberikan layanan di bidang pertanian. Zaadhoeve yang berdiri di wilayah persawahan berkoh merupakan sebuah program intensifikasi pertanian di mana para petani diberi pelatihan tentang groenbemesting, terrasering dll. Disamping itu jenis pekerjaan yang ditekuni penduduk pribumi antara lain menjadi buruh di pabrik-pabrik dan perkebunan di sekitar wilayah Bayumas. Selain memiliki wilayah luas untuk menamam padi dan tebu, wilayah Banyuma merupakan daerah perkebunan penghasil indigo, kopi, kelapa, coklat, dan tembakau.
E.     Malaise Di Banyumas
Tahun 1930-an dunia mengalami krisis ekonom. Kondisi di tingkat global berdampak juga di Banyumas. Dampak di Banyumas mulai tahun 1933 berada dalam kesukaran-kesukaran yang menyedihkan. Penutupan pabrik-pabrik gula di Kalibagor, Kalmpok, Sumpiuh, Purwakerta, dan Bojong membawa dampak yang besar bagi masyarakat Banyumas. Setiap tahunnya setiap pabrik rata-rata mengeluarkan uang satu juta rupiah untuk sewa tanah, nafkah pegawai dan kaum buruh. Namun, dengan penutupan pabrik gula, beribu-ribu orang kehilangan mata pencaharian. Para petani harus mengembalikan uang persekot dari kontrak sewa tanahnya yang telah diterimanya. Bersamaan itu tanaman padi banyak yang tidak berhasil panen akibat musim kemarau yang panjang dan terserang tikus. Hal ini menimbukan kemiskinan rakyat kian hari kian meningkat. Pengemis laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, tampak berkeliaran di kota-kota, terutama pada hari minggu. Pakaian koyak, badan kurus kering, kaki bengkak tanda penyakit honger oedeem.
Sumber pencaharian di pabrik, kebun dan onderneming serta perburuhan telah hilang lenyap. Rumah gadai penuh dengan pakaian, perhiasaan, perkakas rumah tangga, dan alat-alat pertanian. Barang yang digadaikan tidak dapat ditebus sehingga terpaksa dijual dihadapan umum dengan harga yang sangat rendah. Rakyat tidak hanya menderita karena kekurangan uang namun juga kekurangan makanan. Di desa-desa sangat kekurangan makan, bahkan sama sekali tidak ada. Meski demikian mereka ditanya sudah makan menjawab sudah, setelah ditelusuri belum makan sejak dua tiga hari lalu bahkan lebih. Tidak makan sesuap nasi hanya daun-daunan, ares pohon pisang, gaber, atau gelang. Sehingga badannya lemah dan mudah diserang penyakit seperti gudig, koreng, kaki bengkak, patek dan borok. Selain itu infuenza dan malaria yang menelan korban banyak.
Rakyat yang tidak mampu membeli makan sering kali terpaksa makan tempe bongkrek yaitu makanan yang terbuat dari kedelai dan ampas kelapa. Makanan ini banyak disukai rakyat tapi kadang ada yang beracun. Beberapa orang meninggal akibat tempe bongkrek.
Kemiskinan di desa-desa makin meningkat ditandai dengan barang-barang rumah tangga bahkan hingga atap rumah habis dijual. Pijaman bank makin bertambah dan tidak terbayar lagi, pajak bumi bertahun-tahun menunggak, serta mundurnya hasil pertanian. Beberapa usaha yang dilakukan oleh bupati Raden Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata mengatasi kemiskinan antara lain:
1.      Kolonisasi, anjuran untuk pemegang sawah yang tidak mempunyai harapan karena uang sewa tanah habis agar menyewakan tanahnya pada orang lain yang mampu mengerjakan sawah dengan baik, uang kerugian ditetapkan sepantasnya. Anjuran ini disambut baik, banyak yang menggunakan kesempatan untuk membereskan penghidupannya selaras dengan anjuran bapak bupati. Pertanian dikerjakan lebih giat, pajak bumi dibayar lancar, dan hasil produksi bertambah. Orang-orang desa yang dulu tidak ingin meninggalkan desanya berbondong-bondong minta dipindahkan ke tanah seberang yaitu di tanah kolonisasi di lampung dan palembang. Tahun 1934, 1935, 1936 beribu-ribu somahan mengajukan permintaan supaya dikirim ke tanah seberang. Banyak yang ditolak kerena kondisi badannya lemah terkena penyakit malaria, oedeem, tuberculose, mijnworm, dan penyakit kulit. Meraka yang minta dipindahkan umumnya terikat macam-macam pinjaman, persoalan sulit yang harus dipecahkan oleh pangreh pradja sebelum mereka dikirim ke tanah seberang.
2.      Dapur umum didirikan bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan. Dapur umum didirkan di distrik-distrik, onderan-onderan, maupun didesa-desa. Pertolongan tersebut diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Keperluan operasional dapur umum dipikul oleh penduduk secara gotong-royong, sumbangan mengalir dalam bentuk uang, bahan makanan dan pakaian.
3.      Gerakan kaum wanita; dipimpin oleh istri bupati yaitu raden ayu siti subindjei Gandsubrata. Kaum wanita Banyumas menyisingkan lengan baju demi melihat penderitaan warga masyarakat. Mereka mendirikan sebuah rumah miskin, di djajengan sebelah timur karesidenan, demikian pula di pasarradja deket kawedanan, dan tiap-tiap distrik kota. Orang-orang berada dirumah miskin tidak hanya diberi makan dan pakaian, namun juga diberi pelajaran membuat keterampilan, antara lain membuat bermacam-macam alat rumah tangga yang kemudian dijual, pendapatan dari penjualan barang-barang dimasukkan ke kas perkumpulan.
Selain hal-hal diatas, desa-desa diadakan pekerjaan-pekerjaan pertolongan seperti membuat selokan, melebarkan jalan, membuat bendungan (dam), mengerjakan tanah dan membuka hutan. Usul-usul dari pemerintah daerah supaya diadakan pekerjaan besar-besaran meiputi:
1.      Mengadakan pengairan guna keperluan distrik Kroya,
2.      Membuat jembatan besar di Rawalo
3.      Mengadakan electrise central di Ketenger.
Pemerintah Belanda untuk mengatasi malaise melakukan penghematan pembiayaan pemerintahan, jabatan wedanan dan asisten wedanan di Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara dihapuskan. Pekerjaan keduanya dilimpah tugaskan ke patih. Gaji bupatipun diturunkan.
Pemerintah menganjurkan melakukan pemupukan dengan tanaman hijau ditanah yang keras. Tanaman orok-orok ditanam di sawah untuk menggemburkan tanah. Lahan miring yang mudah erosi dan tidak bisa mengikat air karena gundul, ditanamin pohon kemlandingan. Penanaman itu membawa dampak pengurangan pengrusakan atau pencuruan pohon dihutan untuk kayu bakar. Usaha tersebut berhasil, pengrusakan hutan menjadi berkurang sehingga erosi bisa dicegah. Para petani mulai merasakan hasilnya sawah mudah mendapat pengairan dan tanahnya gembur untuk ditanami. Pada tahun 1936 usaha ini semakin dipergiat, pemerintah menargetkan seleksi untuk semua wilayah Banyumas lima tahun ke depan. petani yang sudah merasakan hasil dari program pemerintah tersebut menyambut dengan senang rencana tersebut.
Bupati Gandasubrata yakin bahwa penghidupan rakyat yang serba sederhana tersebut sangat tergantung pada hasil pertanian, pabrik-pabrik, dan onderneming-onderneming. Berusaha membuka kembali pabrik gula Kalibagor. Residen Banyumas sangat membutuhkan bantuan pemerintah dalam upayanya menghidupkan kembali pabrik gula di daerahnya. Pabrik dibuka kembali setelah diberi toeslag. Tahun 1935 mulai tanam tabu dan pada tahun 1936 mulai digiling lagi. Penanaman tebu dilakukan di area pabrik Kalibagor, Purwakerta, dan Bojong, terletak di Banyumas dan Purbalingga. Kaum buruh dapat bekerja kembali dan uang sewa tanah mulai mengalir lagi ke desa-desa.
Tahun 1936 kondisi Banyumas mulai membaik, persawahan, kebun, dan ladang dipenuhi tanaman yang hijau dan subur. Penanaman pohon damar besar-besaran memberikan andil besar bagi mata pencaharian rakyat. Rakyat telah terbebas dari kekurangan makan dan bisa hidup layak cukup pangan dan sandang. Akhir tahun 1936 sampai pertengan tahun 1938 dilakukan pembangunan berbagai prasarana dan sarana untuk kemajuan Banyumas, yaitu dengan dibangunnya tenaga listrik. Atas jasa bupati Gandasubrata yang berhasil membawa kemajuan di ekonomi Banyumas diberikena gelar adipati 1933, dan pada tahun 1939 juga 1941 diangkat sebagai anggota Commissie Van bijstand voor de post, telegraaf en telefoondienst.

SOSIAL BUDAYA DIBANYUMAS MASA BUPATI GANDASUBRATA
A.    Pelapisan Sosial Masyarakat Di Banyumas
Diskriminasi sosial ekonomi antara ketiga lapisan penduduk. Lapisan pertama orang Belanda, lapisan kedua para pedagang yang terdiri dari orang Tionghoa, dan lapisan ketiga adalah orang bumiputra. Orang Belanda memiliki gaya hidup sendiri yaitu eksklusif. Pelapisan masyarakat Banyumas sudah ada sejak jaman Belanda, hal ini sangat terlihat pada sektor pekerjaan. Seperti bidang pertanian dikerjakan oleh para pribumi, sektor perdagangan dikerjakan oleh penduduk cina dan asia timur lainnya. Mau tidak mau muncullah pelapisan sosial dibidang ekonomi. Yang menjadikan dampak bahwa Cina lebih banyak pengalaman di perdagangan sedang pribumi hanya berpengalaman sebagai petani itupun haya tujuan pangan berikutnya atau hanya dikonsumsi sendiri bukan untuk dijual. Demikian pula lapisan pribumi yang terbagi menjadi dua yaitu priyayi dan wong cilik dimana hal tersebut merupakan hal yang kontra produktif untuk kondisi sekarang. Kehidupan elite pribumi diantaranya keluarga bupati, terpengaruh dengan orang Belanda yang menggunakan bahasa Belanda disamping bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.
B.     Arsitektur
Tata ruang ibukota Banyumas masa kolonial dipengaruhi pola sosiokultur Jawa dan masuknya kolonialisme. Kawasan alun-alun dengan dalem dan pendopo kabupaten, masjid, penjara, pasar, dan alun-alun sebagai jantung pemerintahan merupakan satu kesatuan sebagai bagian dari kota-kota tradisional di Jawa. Hal ini merupakan contoh konkrit adanya upaya menjaga keseimbangan antara individu dengan Tuhan dan lingkungan yang dilakukan secara bersamaan demi kepentingan bersama di dalam masyarakat. Selain itu adanya sarana dan prasarana diantaranya terkait peneranan listrik, bank, sekolah dan percetakan.
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa penduduk Cina lebih berperan dalam bidang perdagangan. Purwakerta pada awalnya merupakan pusat perdagangan (dengan pasar Wage sebagai intinya) yang selanjutnya oleh pemerintah kolonial Belanda dikembangkan melalui pembangunan pabrik gula, dan membangun kota baru disebelah kota lama sebagai pusat pemerintahan. Hal ini diawali dengan pemindahan kabupaten, kantor dan rumah dinas asisten residen dari Ajibarang dan dilanjutkan dengan pemindahan kabupaten dan karesidenan dari Banyumas ke Purwakerta.
Penduduk Banyumas secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok masyarakat. Penduduk asli Banyumas yang merupakan mayoritas penduduk yang sebagain besar berprofesi sebagai petani. Para bangsawan keturunan kerajaan Mataram, yang sengaja ditempatkan di Banyumas atau bangsawan karena perkawinan dengan masyarakat setempat. Bangsa Belanda sebagai pejabat dan pegawai pemerintah kolonial Belanda maupun pabrik gula di Kalibagor. Bangsa Cina sebagai pendatang yang umumnya berprofesi menjadi pedagang.
Bangunan arsitektur Cina dijumpai dalam bentuk tempat tinggal, pertokoan, dan tempat peribadatan orang Cina. Menurut informasi keberadaan kondisi sosial ekonomi penduduk seperti tersebut sangat berpengaruh terhadap tempat tinggal. Para bangsawan keturunan kerajaan Mataram biasanya menggunakan bentuk limasan pacul gowang. Sedangkan penduduk asli Banyumas menggunakan bentuk tikelan atau joglo (untuk tokoh masyarakt), srotong untuk masyarakat biasa.
C.    Kerajinan Batik
Sektor kerajinan di Banyumas cukup variatif namun kerajinan paling menonjol adalah batik. Penguasa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara mengembangkan kerajinan rumah tangga. Penduduk di Karesidenan Banyumas terutama bermata pencaharian sebagai petani dan pekerja kerajinan. Sektor kerajinan pada saat itu antara lain: batik, keranjang, tenun, genteng, jambangan bunga, perak, emas dan tembaga. Mata pencaharian lainnya seperti pande besi, membuat kalengan untuk mengemas daging, pekerja bangunan, pengrajin bumbu untuk peralatan musik dan payung, membuat batu bata, pembakaran gamping, membuat gula jawa, minyak kelapa, cerutu dan penjahit pakaian.
Munculnya budaya batik tidak lepas dari dinamika kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Batik di Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut pangeran Dinponegoro setelah selesainya tahun 1830. Yang menetap disana dan budaya membatik merambah pada masyarakat Sokaraja dan akhir abad 19 berhubungan langsung dengan pembatik di Solo dan Ponorogo. Batik Banyumas dikenal sejak dahulu bermotif dan warna khusus, dan sekarang dinamakan Batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan Cina di samping mereka dagang bahan batik. Dahulu batik digunakan oleh para bangsawan setelah dibawa keluar batik juga digunakan oleh para masyarakat biasa, terutama perempuan namun tetap memiliki perbedaan dengan batik yang dipakai bangsawan.
Masa kejayaan batik Banyumas pada tahun 1930-an setelah perang dunia kesatu. Perusahaan besar yang terkenal pada saat itu milik orang Cina yang namanya Kho Siang Kie. Perusahaan ini mampu membeli peralatan batik (canting dan pola) dari pembatik bengsawan yang bangkrut karena tidak ada regenerasi. Batik Banyumas identik dengan motif Jonasan yaitu kelompok motif non geometrik yang didominasi dengan warna-warna dasar kecoklatan dan hitam.



DAFTAR PUSTAKA
Hasttrini, Y Dkk. 2015. Sejarah Perkembangan Ekonomi Dan Kebudayaan Di Banyumas Masa Bupati  Gandasubra Tahun 1913-1942. Yogyakarata: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)